Menerapkan DPP Berkeadilan, Diniyah, dan Deteksi Anak Sekolah (Kunker DPRD Balikpapan ke Banda Aceh)

DPRD Kota Balikpapan studi banding lagi ke daerah lain untuk pengembangan Kota Balikpapan. Minggu (21/8), rombongan yang dipimpin Wakil Ketua DPRD Balikpapan Sabaruddin melakukan kunjungan kerja ke Kota Banda Aceh.
DPRD Balikpapan memilih Kota Banda Aceh sebagai lokasi studi banding terkait tata kelola organisasi perangkat daerah, pendidikan, PAD, aset daerah, pendidikan, dan pengelolaan air bersih. Senin (22/8) pagi, rombongan berkunjung ke balai kota. Rombongan itu diterima oleh Asisten II Bidang Keistimewaan Ekonomi dan Pembangunan Setda Banda Aceh, Gusmeri dan Asisten I Bidang Pemerintahan Bachtiar, para staf ahli, Kepala SKPD dan kepala bagian di lingkungan Setda Banda Aceh.
Di awal pertemuan, Sabaruddin yang didampingi Wakil Ketua DPRD Balikpapan Syarifuddin Odang, memaparkan secara singkat kondisi terkini Kota Balikpapan. Ia menjelaskan, Balikpapan saat ini berpenduduk sekitar 750 ribu jiwa dengan APBD tahun 2016 senilai Rp 3,1 triliun (PAD Rp 500 miliar). Selain itu, Balikpapan terbagi menjadi enam kecamatan, 34 kelurahan dan 1.501 Rukun Tetangga (RT). "Balikpapan perlu belajar pada Banda Aceh terkait regulasi peningkatan PAD, penyaluran APBD, dan perimbangan keuangan, pengelolaan pendidikan, serta pengelolaan air bersih oleh PDAM," ungkap Sabaruddin.
Dalam pertemuan tersebut, ada beberapa topik yang paling mengemuka antara lain tentang pengelolaan pendidikan. Di Kota Banda Aceh, banyak kebijakan pendidikan yang berpeluang besar diadopsi oleh Balikpapan. Mulai dari pengelolaan anggaran, program anak tidak putus sekolah, program karakter anak, hingga sekolah yang menghasilkan pendapatan miliaran rupiah per tahun.
Menurut Kepala Dinas Pendidikan Banda Aceh, Syaridin SPd MPd, dalam hal anggaran pada dasarnya sekolah negeri dan swasta menerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pusat. Kecuali ada sekolah-sekolah yang memang tidak mau menerima dana BOS yaitu sekolah-sekolah swasta atau yang dikelola yayasan. Mereka tidak menerima dana BOS karena jika menerima, berarti sharing atau dukungan anggaran dari masyarakat tidak bisa diatur sesuai keinginan yayasan atau sekolah swasta. Namun sekolah swasta di Banda Aceh tidaklah banyak. Bahkan jumlahnya semakin berkurang.
Di Banda Aceh, jelas Syaridin, tahun 2015, dukungan anggaran pemerintah daerah terhadap pendidikan cukup baik. Sudah menyediakan Rp 1,7 juta per siswa per tahun. Walaupun dalam implementasinya tidak sama antara pelajar SD, SMP dan SMA dan SMK.
Tersedia juga BOS Daerah (Bosda) dari pemkot yang diberi beri nama Dana Pendukung Pendidikan (DPP) Berkeadilan. Artinya formulasi bantuan anggaran dari pemerintah daerah, tidak lagi mengikuti formulasi penghitungan dana BOS pusat. "Kalau BOS pusat sama se-Indonesia untuk kabupaten/kota. Dihitung per jumlah siswa per sekolah. Kalau banyak siswa berarti banyak dana BOS yang diterima oleh sekolah. Sementara biaya operasionalnya sama. Artinya sekolah kecil belum diuntungkan. Karena itu di Banda Aceh, kami beri nama DPP Berkeadilan, ini dihitung sesuai kebutuhan. Jadi ada keadilan dalam penerimaan dana," tandasnya.
Deteksi Anak Sekolah
Menariknya, di Banda Aceh tidak ada anak usia sekolah yang tidak bersekolah. "Kami miliki Sistem Informasi Manajemen Berbasis Masyarakat. Melalui sistem ini, terdeteksi tiap anak apakah melanjutkan sekolah atau tidak ke jenjang berikutnya. Informasinya datang dari kepala-kepala desa langsung ke walikota," ungkap Syaridin.
Selain itu, setiap tahun, Dinas Pendidikan mendata pelajar yang mengikuti ujian akhir pada jenjang pendidikan SD, SMP dan SMA. Hasilnya seimbang. Data jumlah pelajar yang mengikuti ujian dengan yang masuk ke sekolah lanjutan selalu berimbang atau ada korelasi. "Misalnya murid SD yang lulus 4.000 orang, dan yang masuk SMP hanya 3.000 orang. Kemana 1.000 sisanya? Biasanya mereka memilih ke pesantren atau sekolah-sekolah di bawah naungan Kementerian Agama," ujarnya.
Menariknya, Banda Aceh menerapkan program pendidikan Diniyah. Ini program yang diciptakan pemkot untuk memberikan pelayanan pendidikan keagamaan di luar kurikulum nasional. "Melalui program ini, anak diajarkan sampai bisa mengaji, doa shalat, dan lainnya. Untuk mewujudkan program ini, setiap tahun pemkot mengalokasikan anggaran Rp 6,7 miliar dan sudah disepakati antara pemerintah dengan legislatif. Dalam program ini, setiap pelajar mengikuti pelajaran dua hari dalam seminggu. Selebihnya ikut kegiatan ekstrakurikuler. Ini juga juga bertujuan menyukseskan kebijakan pemerintah pusat untuk menerapkan pendidikan karakter bangsa," tambah Syaridin.(bersambung)

 

Sumber: Tribun Kaltim